Rabu, 28 Desember 2011

JIHAD

A.    Pengertian Jihad
Kata jihad di dalam bahasa arab, adalah mashdar dari kata: جاهدت العدو مجاهدة وجهادا Yang merupakan turunan dari kata الجهد yang berarti: kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap musuh.[1] 
Makna Jihad Menurut Istilah: Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa makna:  Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir. Para fuqaha mengungkapkannya dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang muslim memerangi orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian setelah mendakwahinya untuk memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut menolaknya, demi menegakkan kalimat Allah
Ini makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad dimaksudkan untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan sebuah kata lain sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna yang dituju dari kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata jihad dalam Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir dengan senjata
Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah. 
Selain dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," ففيهما فجاهد optimalkanlah baktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari 
Opini Yang Salah Tentang Maksud "Jihad Akbar" 
Ada sebuah opini yang berkembang di tengah masyarakat Islam hampir di seluruh belahan dunia Islam, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu (Mujahadatun nafsi) sedangkan jihad mengangkat senjata melawan orang kafir hanyalah jihad kecil, biasanya ungkapan ini disertai dengan menyitir sebuah hadist Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sepulang beliau dari sebuah peperangan melawan orang kafir,
قدمتم خير مقدم، وقدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر، مجاهدة العبد هواه
Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya. 
Opini ini perlu diberi catatan dari beberapa sisi:
- hadits yang dijadikan landasan opini diatas "mardud" didhaifkan oleh banyak ulama hadist, diantaranya; Al Baihaqi, Al Iraqi dan As Suyuthi dalam Al Jami` As Shaghir, dikarenakan seorang perawinya yang bernama Yahya bin Al `Ala` seorang yang tertuduh sebagai pemalsu hadits seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar dalam "Taqrib at tahzib". Jadi pembagian jihad kepada; jihad ashghar dan jihad Akbar tidak mempunyai dalil yang kuat.
- Makna jihadun nafsi terlalu luas, sebagian orang memahaminya dengan terminologi masing-masing, andai maksudnya membersihkan jiwa dengan zikir, wirid-wirid khusus dan amalan-amalan sunnat tentulah jihad memerangi orang-orang kafir lebih mulia disisi Allah, (Q.S. An Nisaa` :95-96)
﴿ وفضل الله المجاهدين على القاعدين أجرا عظيما . درجات منه ومغفرة ورحمة وكان الله غفورا رحيما
Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak ikut berjihad dengan pahala yang besar. Beberapa derajat dari Allah, maghfirah dan rahmat-Nya, adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang 
Namun jika yang dimaksud dengan jihadun nafsi mengendalikan jiwa untuk selalu merealisasikan tauhid, kafir terhadap thaghut dan komitmen dengan seluruh syari`at Allah, tidak dapat diingkari bahwa jihadun nafsi adalah asas dan jihad memerangi kekafiran merupakan salah satu hasil dari jihadun nafsi. Implikasinya bahwa orang yang sukses dalam jihad memerangi orang kafir dengan meraih syahadah yang dapat memberikan syafa'at untuk 72 orang anggota keluarganya dan kekal dalam surga Allah hanyalah orang yang berhasil melewati fase awal jihad, yakni jihadun nafsi
Inilah makna ungkapan Ibnu Al Qayyim, " Manakala jihad memerangi musuh-musuh Allah (orang-orang kafir) hanya bagian dari jihad nafsi dalam merealisasikan tauhid … maka jihadun nafsi lebih diprioritaskan dari pada jihad mengangkat senjata menumpas kekafiran.
- Ungkapan "jihad akbar adalah jihadun nafsi" sering disalah gunakan untuk mengecilkan peran orang yang memanggul senjata mengorbankan anak, isteri dan harta benda demi tegaknya kalimat Allah, bahkan untuk melemahkan dan menghalangi orang berjihad fi sabilillah, dengan mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan jihad akbar lebih afdhal, padahal andai kita mencermati dengan seksama tentunya kita akan mengambil kesimpulan bahwa konsisten dengan jihadun nafsi mengharuskan kita untuk berjihad fi sabilillah jika memang waktunya telah tiba 
Fase-Fase Di Syari`atkannya Jihad 
Jihad salah satu diantara ibadah yang dalam proses tasyri`nya mengikuti sunnah tadarruj (bertahap), yang dapat kita bagi menjadi 4 fase:
a.       Periode Mekah.
Dalam periode ini jihad dengan mengangkat senjata tidak disyari`atkan, yang diperintahkan pada periode ini adalah jihad dengan menggunakan hujjah dan argumen yang bersumber dari Al qur`an dalam menyampaikan risalah Islam kepada manusia pada umumnya dan khususnya masyarakat Quraisy, Allah berfirman, (Q.S. Al Furqan: 51-52)
﴿ ولو شئنا لبعثنا في كل قرية نذيرا . فلا تطع الكافرين وجاهدهم به جهادا كبيرا ﴾
Dan andai Kami menghendaki, niscaya Kami utus di tiap-tiap negeri seorang Rasul. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar 
Ibnu qayyim berkata, "Allah telah memerintahkan berjihad sejak periode Mekah dengan firman-Nya (Q.S. Al Furqan: 52) yang tentunya surat Makkiyah, menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan menyampaikan Al qur`an …"
Bahkan ketika beberapa orang sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin `Auf datang kepada Nabi mengeluhkan keadaan mereka sambil berkata,"Kami dahulu berada dalam kemuliaan disaat kami masih musyrik, apakah kami menjadi hina setelah kami beriman?!", Nabi menjawab,
إني أمرت بالعفو فلا تقاتلوا
Aku diperintahkan untuk mema`afkan, maka janganlah kalian mengangkat senjata! 
Juga setelah selesai pembai`atan `Aqabah yang ke dua sebagian para peserta yang datang dari Yastrib meminta izin dari Nabi untuk menyerang penduduk `Aqabah dengan pedang, beliau menjawab, ""إني لم أؤمر بهذا aku tidak diperintahkan untuk melakukan hal ini.
Dalam (Q.S. An Nisaa` :77) Allah mempertegas larangan mengangkat senjata di periode Mekah, firman-Nya:
﴿ ألم تر إلى الذين قيل لهم كفوا أيديكم وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ﴾
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat! 

Nushus diatas sangat jelas bahwa selama periode Mekah jihad mengangkat senjata dilarang (hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Qurthubi 2/347). Yang ada hanya jihadun nafsi menanamkan aqidah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, sabar dan istiqamah menghadapi segala bentuk penindasan dari kaum kafir serta yakin dengan janji Allah dan Rasul-Nya.
Tidak-disyaria`tkannya jihad mengangkat senjata dalam periode ini -yang dalam pandangan kasat mata kebanyakan manusia juga termasuk sebagian sahabat hal itu telah patut karena penindasan kaum Quraisy sampai pada titik diluar batas kewajaran- tentulah mempunyai hikmah yang sangat dalam untuk keberlangsungan dakwah islamiyah keseluruh penjuru bumi.
b.      Fase dibolehkan Jihad Qital dan belum difardhukan.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, menetap di sana membangun sebuah negeri Islam yang berdaulat dan memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan yang dirasa cukup untuk menghadapi setiap gangguan, yang dilain pihak kaum kafir Quraisy selalu melancarkan berbagai bentuk tekanan, maka Allah membolehkan (bukan difardhukan) kaum muslim mengangkat senjata, membela dan mempertahankan jiwa dan dakwah Islam dari segala bentuk penindasan, dengan firman-Nya: (Q.S. Al Hajj: 39)
﴿ أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله على نصرهم لقدير ﴾

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka 
c.       Fase difardhukan jihad qital atas kaum muslim terhadap orang yang memulai memerangi mereka .
Fase ini juga bisa dinamakan dengan jihad difa` (berperang karena membela diri), yakni kaum muslim diwajibkan mengangkat senjata memasuki medan pertempuran melawan setiap kekuatan yang memulai menabuh genderang perang terhadap mereka, Allah berfirman, (Q.S. Al Baqarah: 190-191)
﴿ وقتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين ﴾
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
﴿ فإن قتلوكم فاقتلوهم كذلك جزاء الكفرين ﴾
Maka jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka! Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir
Pada periode ini sekalipun kaum muslim telah mempunyai kekuatan tetapi belum sanggup memulai pertempuran menghadapi seluruh kekuatan kafir dan musyrikin, maka dengan hikmah Allah, Dia tidak mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan penyerangan karena mereka belum mampu melaksanakannya.
d.      Fase difardhukan jihad qital terhadap setiap kekuatan kufur apapun agama dan ras mereka, sekalipun mereka tidak memulai berperang hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah.
Setelah kekuatan kufur di kota Mekah runtuh di tangan 10.000 orang sahabat yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dengan ini berarti berakhirlah permusuhan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah sehingga dakwah islam menjadi memiliki banyak pasukan dan peralatan serta kekuatan, maka pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan kaum muslim memerangi setiap bentuk kekufuran dengan firman-Nya, (Q.S. At Taubah: 5 dan 36)
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka
﴿ وقتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة ﴾
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya
Dan nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Aku diperintahkan memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah HR.Muslim

Demikianlah jihad thalab (jihad memerangi setiap aral yang merintangi arus dakwah islam) akhirnya difardhukan dan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat kewajiban ini tidak berubah. Kemudian kewajiban jihad thalab ini diteruskan oleh para khulafaur rasyidin dan para khalifah serta para penguasa setelah mereka. Hingga akhirnya khilafah Utsmaniyah runtuh kurang dari satu abad yang lalu dan kewajiban inipun terhenti sementara sampai kaum muslim memiliki kembali kekuatan untuk menumpas segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.
Hukum jihad 

Jihad memiliki beberapa hukum : 
a. Fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi;
ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang menghadapi pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa meninggalkan medan, Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)
يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا
Hai orang-orang beriman apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetaplah
﴿ يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم الذين كفروا زحفا فلا تولوا هم الأدبار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu mundur ( Al Anfaal :15)
- bila musuh telah datang menyerang salah satu negeri muslim, maka wajib bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika musuh belum tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya berjihad hingga musuh keluar dari negeri tersebut. Allah berfirman (Q.S. At Taubah :123)
﴿ يا أيها الذين آمنوا قاتلوا الذين يلونكم من الكفار ﴾
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada disekitar kamu itu
Jihad ini disebut juga dengan jihad difa` (pembelaan diri)
- bila imam (pemimpin) memerintah seorang muslim untuk pergi berjihad, maka wajib `ain baginya melaksanakn perintah tersebut, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
وإذا استنفرتم فانفروا
Bila kamu diperintahkan berjihad, maka pergilah berjihad H.R.Bukhari.
b. Fardhu kifayah
Jihad thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang penduduknya tidak beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu kifayah, yang bila dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa dari seluruh kaum muslim, Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)
﴿ وما كان المؤمنون لينفروا كافة ﴾
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke medan perang
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
والذي نفسي بيده لولا أن رجالا من المؤمنين لا تطيب أنفسهم أن يتخلفوا عني، ولا أجد ما أحملهم عليه ما تخلفت عن سرية تغزو في سبيل الله والذي نفسي بيده لوددت أني أقتل في سبيل الله ثم أحيا ثم أقتل ثم أحيا ثم أقتل ثم     Perlu digarisbawahi bahwa hukum diatas berlaku manakala kaum muslim mempunyai negeri islam berdaulat yang menerapkan hukum-hukum Allah dan dipimpin oleh seorang muslim sejati serta memiliki kekuatan, peralatan dan perlengkapan yang dirasa mampu untuk menegakkan jihad difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum muslim tidak mempunyai negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah dan kekuatan serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan musuh, maka hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim dibenarkan membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut demikian, hal ini dijelaskan oleh para lama mazhab.
Ibnu Taimiyah berkata," Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri dan mereka tidak mempunyai kekuatan (lemah) maka hendaklah mereka mengamalkan ayat yang memerintahkan tetap sabar dan memberi maaf terhadap orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baik dari Ahlul kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum mukminin yang mempunyai kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang memerintahkan memerangi para pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan memerangi ahlul kitab hingga mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan yang hina …"
Hal yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As Suyuti bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama dengan masa dan keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka mengamalkan ayat-ayat yang diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan terus mendakwahi setiap musuh dengan cara yang sebijak mungkin. Implikasinya ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak dimansukhkan tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada umat Islam.
Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman
Jihad sebagai salah satu dari sekian banyak kewajiban yang difardhukan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, sudah menjadi keyakinan kita bahwa seluruh syari`at itu terus berlangsung dan sangat relevan, kapanpun dan dimanapun seorang muslim berada. Tidak satupun syari'at dimansukhkan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, berdasarkan dalil-dalil di bawah ini;
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiallahu `anhu
لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
Senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran selalu menang hingga hari kiamat. H.R.Muslim
- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu `anhu,
والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل
Dan jihad terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga akhir umatku memerangi Dajjal
Dari dua teks hadist di atas sangat jelas bahwa kewajiban berjihad tetap terus berlangsung hingga akhir zaman.
- firman Allah swt ( Q.S. Al Anfaal: 39)
﴿ وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله فإن انتهوا فإن الله بما يعملون بصير ﴾
Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
- firman Allah swt (Q.S. At Taubah: 33)
﴿ هو الذي أرسل رسوله بالهدى و دين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa jihad harus selalu ditegakkan sampai tercapainya tujuan yang diinginkan Allah, yaitu sirnanya setiap kesyirikan dan kekufuran, dan tiada agama lain di atas permukaan bumi kecuali agama Allah. Impilkasinya selagi kedua tujuan di atas belum tercapai maka jihad harus terus berlangsung.
gkan bahwa jihad terus berlangsunmenjelas hingga akhir ya dalil ya Kuatn zaman menyebabkan Imam At Thahawi dalam buku akidahnya mengatakan, "Haji dan jihad terus berlangsung bersama para pemimpin kaum muslim yang adil maupun yang lalim hingga terjadinya kiamat, dua kewajiban ini tidak pernah digugurkan".[16]  (tolong disusun dulu, bi)
Keberlangsungan jihad hingga akhir zaman ini tidaklah bertentangan dengan realita umat islam saat ini yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut, karena Allah swt berfirman (QS Al Baqarah : 286)
﴿ لا يكلف الله نفسا إلا وسعها ﴾
            Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Saat kaum muslimin telah mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban jihad maka mereka berdosa jika meninggalkannya.


[1] Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).

Rabu, 10 Agustus 2011

Peran Besar Ulama Dalam Kemerdekaan RI

bendera-merah-putih 

 

Peranan tokoh-tokoh Islam mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya mampu mengamankan akidah Islamiyah penduduk negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini. Padahal, selama hampir empat abad kaum penjajah yang kafir itu memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.

Tak bisa dipungkiri, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia mengusir kaum imperialis (penjajah) dari tanah air tercintanya tidak lepas dari peranan besar tokoh-tokoh Islam negeri ini. Bahkan, tidak sedikit pemuka agama samawi itu terjun langsung berada di lini depan memimpin perang. Sehingga, tak sedikit pula yang berpulang keharibaan Ilahi Robbi sebagai pahlawan syuhada.

Tak terhitung jumlah tokoh muslim Nusantara ini gugur sebagai syuhada, diantaranya oleh Pemerintah Republik Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kita ketahui Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Bung Tomo, serta masih banyak lagi yang mengobarkan semangat jihad para pejuang untuk berperang memaksa penjajah hengkang dari bumi pertiwi, bahkan menghancurkannya.

Selama hampir empat abad masa penjajahan di Indonesia, para syuhada yang diantaranya alim ulama berada di tengah-tengah pejuang muslim. Mereka senantiasa memacu semangat hizbullah itu untuk memerangi bangsa kuffar di wilayahnya masing-masing. Yang tidak berada di medan laga biasanya dipercaya memegang kendali strategi perang, dan senantiasa menjadi rujukan para pejuang untuk menentukan arah gerakannya. Ke mana pun pejuang bergerak, para ulama itu setia mendampingi.

Tidak itu saja, dari peranannya mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya, saat bangsa imperialis berusaha kembali bercokol di negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini, kekokohan akidah Islam negeri ini tetap aman. Padahal, kaum penjajah yang kafir itu tidak sekedar ingin menguasai tanah air, tetapi juga memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.

Selain itu, via kawalan para tokoh-tokoh Islam penerusnya, awal terbangunnya negeri ini sarat diwarnai nuansa dan norma-norma hukum Islami, diantaranya ketika perumusan Undang-undang Dasar 1945. Demikian pula penghuni salah satu negeri di Asia Tenggara ini, hingga enam puluh tiga tahun kemerdekaannya sebagian besar masih setia dengan syariat agamanya, berkat perjuangan pemimpin Islam tersebut. Kondisi ini yang harus kita upayakan agar tetap terjaga aman ilaa yaumil qiyamah.

Nah, di sinilah perlunya memahami kiprah mereka untuk memantapkan keyakinan bahwa Islam beserta para pemimpinnya di negeri Pancasila ini memiliki dan telah menyumbangkan andil cukup signifikan di masa perjuangan kemerdekaan, pembentukan negara berdaulat, hingga  liku-liku perjalanannya saat ini.

Untuk mengetahui kiprah tokoh-tokoh Islam di masa perjuangan kemerdekaan negeri kita, pada momentum enam puluh tiga tahun kemerdekaan RI kali ini, reporter Djoko Sujanto berhasil mewawancarai salah seorang mantan pejuang kemerdekaan yang turut berjihad bersama para ulama di wilayah Pasuruan, sebuah kota kecil di Jawa Timur.

Ini salah satu upaya CN yang ingin merefresh (menyegarkan / membangkitkan kembali, red) jiwa patriotisme dan nasionalisme generasi penerus anak bangsa, terutama dari kalangan muslimin. Mereka yang sama sekali tidak mengalami masa perjuangan kemerdekaan perlu mendapatkan gambaran itu.
Pemaparan kiprah perjuangan ini juga untuk menumbuhkan kembali semangat mencintai bangsa dan tanah air pada diri pemuda, meski dalam bentuk lain. Pasalnya, hasil pengamatan beberapa pakar sosiologi, akhir-akhir ini semakin tajam dekadensi (kemerosotan) jiwa patriotisme dan nasionalisme di kalangan sebagian besar pemuda Indonesia.

Mantan pejuang yang ditemui media kita ini adalah H. Satoeri (94 tahun), seorang purnawirawan ABRI P (Kepolisian) tahun 1975. Dari aktifitasnya malang melintang di medan perjuangan kemerdekaan, dia mendapatkan penghargaan dari Presiden RI berupa Bintang Gerilya Tahun 1963, Satya Lentjana PK Perang Kemerdekaan) I & II Tahun 1965, dan Satya Lentjana Jana Utama Tahun 1967. Meski sebenarnya dia tidak mengharapkannya.

Menurutnya, dirinya berjuang bukan mengharapkan penghargaan, namun semata ingin membebaskan bangsanya dari cengkeraman dan penindasan kejam tak berperikemanusiaan kaum kolonialis yang atheis (tak bertuhan). Dia amat merasakan pahit getirnya masa penjajahan.
“Dijajah itu sengsara nak, kita saat itu seakan mati dalam hidup. Bagaimana tidak, kita tidak bisa bergerak bebas, terkungkung dalam  suatu tempat yang amat terbatas, karena keserakahan penjajah. Serba kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup. Pokoknya susah sekali. Alhamdulillah, melihat keadaan itu tumbuh semangat dalam jiwa ini untuk berjihad,” paparnya dengan suara agak tersendat, karena napasnya acap kali tersengal mengiringi usianya yang semakin udzur.

Pria yang kini masih semangat hadir di majalisul khoir (majelis-majelis kebaikan) itu kemudian menceritakan secara kronologis kiprahnya menentang penjajahan bersama ulama dan rekan-rekan seperjuangannya. Beragam peristiwa dipaparkan secara detail dengan semangat yang menggebu.
Pada clash II tahun 1947, Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia berhasil memasuki negeri ini membonceng pasukan NICA. Pasukan penjajah dari negeri kincir angin itu memasuki kota Pasuruan pada bulan Juli, melalui arah selatan yakni dari Malang menerobos daerah Weringin Contang Pacarkeling (wilayah kabupaten Pasuruan).

Pasukan pejuang H. Satoeri pimpinan Imam Jembrak (julukan laki-laki yang berambut panjang) dan Faqih mulai mengadakan aksi sejak hari ketiga kedatangan pasukan Belanda di kota Pasuruan. Itu dilakukan setelah melakukan pengamatan cermat terhadap gerakan mereka. Diawali dengan membuat kekacauan di kota, memutusi kawat-kawat listrik dan kabel-kabel telepon jaringan fital yang menghubungkan instansi-instansi penting yang dikuasai Belanda.

Tidak itu saja, untuk mendapatkan persenjataan perang pasukan Imam mengadakan penyerbuan ke tempat-tempat konsentrasi pasukan musuh yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan senjata. Juga, dengan melakukan penyergapan dan penghadangan pasukan musuh yang tengah berpatroli, untuk merampas senjatanya.

Sejumlah markas musuh diserbu, diantaranya di pabrik Boma Stork, Rumah Sakit Purut, pabrik Pleret (TTI sekarang, red), Poncol, markas Gadingrejo, dan di Proof Stasiun (P3GI). Sementara penyergapan dilakukan terhadap patroli polisi Belanda di Karangketug, Sutojayan Pohjentrek, Kejayan, Tamba’an, Sangar, Bugul, Gembyang Kraton, Alun-alun, di Jl. Diponegoro, dan Jl. Nusantara.
Aksi itu membuahkan hasil, enam puluh satu pucuk senjata, baik pistol maupun senjata laras panjang berhasil dirampas dari pasukan Belanda. Juga, dua buah mesin tulis, dan sembilan belas sepeda pancal. Tak hanya itu, dua belas Polisi Belanda pun terbunuh. Namun, di sisi lain tujuh orang pasukan pejuang gugur tertembak.

Setelah berhasil memiliki senjata, pejuang kita melakukan penyerangan pada malam hari secara gerilya (serang dan lari, red) terhadap pasukan Belanda di berbagai tempat, termasuk penyerbuan pos-pos polisi Belanda di Sangar dan Kebonagung. Biasanya saat melakukan penyerangan malam hari para pejuang menggunakan pakaian serba hitam, untuk mengelabui musuh.

Aksi itu menyebabkan pasukan musuh kacau yang kemudian melakukan serangan balasan secara membabibuta dengan tembakan mortir. “Alhamdulillah, tak satu pun tembakan mereka mengenai sasaran. Peluru mortir itu semuanya nyasar ke sawah-sawah,” cerita purnawirawan Polisi dengan pangkat terakhir Peltu, di Komres 1025 (sekarang Polres, red) Lumajang ini.

Kegagalan serangan balik pasukan musuh itu menyelamatkan wilayah pertahanan pasukan Imam beserta rakyat penghuninya. Saat itu pos-pos pertahanan hizbullah tersebut berada di desa Gentong, Bukir dan Sangar. Itu sebabnya, Imam Cs makin memiliki kesempatan mengintensifkan serangan terhadap musuh di pusat kota. Mereka melakukan penyerangan secara gerilya, terutama pada malam hari hingga akhir tahun 1948,” papar H. Satoeri.

Untuk mendekatkan posisi pejuang dengan sentra-sentra keberadaan pasukan musuh, pasukan Imam membentuk pos-pos komando (posko) di wilayah kota. Itu dilakukan setelah Imam Cs. bergabung dengan kawan-kawan perjuangan TRI Hizbullah yang menyatakan diri hijrah ke pasukan republik.
Ada empat belas posko didirikan di sebelas desa wilayah kota Pasuruan, yakni sebuah posko masing-masing dibangun di Sangar, Bangilan, Mayangan, Tamba’an, Gentong, Sebani, Wirogunan, Purutrejo, Kepel/Tapa’an, dan Petung/Bakalan. Sementara di Kebonsari didirikan empat posko.
Empat posko di Kebonsari dan sebuah di Bangilan merupakan posko terdekat dengan lokasi pasukan musuh yang bermarkas di pusat kota. Posko-posko tersebut digunakan selama tahun 1948. Sebuah bekas posko yang tersisa dan belum berubah sampai sekarang (sengaja tidak diubah bangunannya, dindingnya tetap dari papan-papan kayu) adalah yang berada di Jalan Diponegoro, Kebonsari, yakni sebuah musholla. Masyarakat Pasuruan menyebutnya Langgar.

Karenanya, kata H. Satoeri, hingga kini musholla itu disebut “Langgar Perjuangan”. Setiap bulan Ramadhan musholla tersebut menjadi salah satu tempat kegiatan Khotmul Qur’an Keliling asuhan Ustadz Habib Taufiq Assegaf, yang dihadiri ratusan jamaah. “Barangkali itu sebagai salah satu bentuk penghargaan generasi sekarang terhadap perjuangan pahlawannya. Dengan begitu kita dapat mengenang terus perjuangan beliau-beliau itu,” tutur Bapak berputra enam belas orang itu.

Awal tahun 1949 Batalyon Syamsul Islam masuk Pasuruan, mengajak pasukan Imam bergabung dalam formasi Batalyonnya. Kedua pasukan itu disatukan dalam Kompi Ngadipurnomo. Penggabungan kedua pasukan itu semakin memperkuat semangat perjuangan mereka. Itu sebabnya, pejuang-pejuang muslim itu kemudian memperluas wilayah perjuangannya hingga daerah kabupaten Pasuruan, bahkan menerobos kota Malang dengan membangun sejumlah pos komando baru.

Suatu ketika pasukan pejuang itu diperintahkan menjemput Akub Djaenal di Malang untuk diajak menuju salah satu markas pejuang di kota Pasuruan, yakni di rumah KH. Abdul Rochim, Jalan Nusantara Gang V (sekarang Jl. KH Wachid Hasyim). Di tempat itu mereka melakukan rapat mengatur strategi penyerangan beberapa sasaran musuh.

Namun, pada saat bersamaan pejuang kita mendengar pernyataan gencatan senjata sepihak dari pihak pasukan Belanda. Tanpa prasangka buruk atau khawatir jangan-jangan pernyataan itu merupakan siasat licik pasukan musuh untuk memancing tentara Allah itu keluar sarangnya, maka Imam Cs segera menuju pusat kota untuk memantau kondisi keamanan di sana.

Ternyata benar, perkiraan pasukan Imam meleset, dan tanpa diduga pasukan Belanda menangkap seluruh kawanan pejuang H. Satoeri. Selanjutnya, Imam Cs ditahan sementara di Gedung Trikora/Harmoni (sekarang digunakan STM Untung Suropati), lalu dibawa ke penjara Lowokwaru Malang.

Di penjara itu pejuang-pejuang muslim tersebut melakukan puasa bersama selama empat puluh hari. Ketika masa tirakatnya memasuki separuh perjalanan (hari ke dua puluh), pasukan Imam mengadakan gerakan mengumpulkan batu bata dan lombok/cabe yang akan dijadikan senjata untuk melumpuhkan penjaga penjara.
Batu bata itu ditumbuk halus kemudian dicampur cabe yang telah dihaluskan. Menurut H Satoeri campuran serbuk batu bata dengan cabe itu amat ampuh sebagai senjata. Benar, ketika memasuki hari ke empat puluh puasa, pasukan Imam menggerakkan seluruh penghuni penjara dan berhasil melumpuhkan penjaga-penjaga penjara itu. Campuran serbuk batu bata cabe itu ditebarkan ke mata pengaman penjara.
“Akhirnya, penghuni penjara Lowokwaru keluar semua, bebaslah kami. Malah kami dapat merampas senjata para penjaga penjara itu. Namun kami juga kehilangan dua rekan pejuang yang mati tertembak,” kisahnya bersedih.
Kiai Bangkitkan Semangat Pejuang
Keberhasilan H Satoeri melawan musuh bersama-sama rekan seperjuangannya yang dipimpim Imam Jembrak diakuinya berkat pertolongan Allah, Robbul Izzati, melalui wasila para kiai. Menurutnya, para kiai Pasuruan selalu meluangkan waktu untuk pejuang. Salah satunya, beliau-beliau senantiasa menerima kedatangan pejuang yang memohon doa restu sebelum berangkat perang. Ulama-ulama itu juga menentukan kapan pejuang harus menyerang atau tidak, dan menghindari serangan.

H Satoeri menyebut sejumlah kiai yang berjasa membangun semangat pasukan pimpinan Imam setiap kali melakukan penyerangan. Pemimpin-pemimpin Islam itu diantaranya KH. Abdullah bin Yasin, KH Abdul Chamid, Kiai Achmad Sahal, Kiai Mas Imam, KH Abdul Rochim dan KH Achmad Rifa’i, semuanya dari Kebonsari. Kemudian KH Achmad Dahlan (pernah menjadi Menteri Agama RI) dari Gentong, KH Achmad Djufri dari Besuk, dan KH Nur ayah KH Djasim Podokaton, keduanya dari wilayah Kabupaten Pasuruan.
“Semua gerakan kami itu tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk para kiai itu. Bahkan, beliau-beliau itu memberi bekal kami berupa kekebalan fisik, dengan memberikan gemblengan dan bacaan doa-doa. Untuk gemblengan kekebalan fisik biasanya diberikan oleh KH Achmad Rifa’i. Kiai satu ini yang setia mengikuti kemana kami beroperasi, meski harus berjalan kaki puluhan kilometer,” ungkap kakek ini.

Suatu waktu, saat menjelang penyerangan Kantor Pos yang dikuasai Belanda pasukan Imam tidak bergairah sama sekali. Sekujur tubuh terasa loyo. Akhirnya semua pejuang memohon kekuatan kepada Allah SWT dengan bertawassul di turbah Surga-surgi dan turbah habaib disampingnya. Masyaallah, tambah H Satoeri, kekuatan dan semangat itu tumbuh lagi. Bahkan, meski ditembaki musuh tidak terasa sama sekali, luka tembak pun tidak ada.
Penyerangan terhadap Kantor Pos itu dilakukan karena beberapa polisi Belanda yang mangkal di kantor itu telah menembaki H Satoeri saat menurunkan bendera Belanda dari tugu Alun-alun yang saat itu masih berupa bambu, kemudian menggantinya dengan bendera Merah Putih. Anehnya, meski ditembaki dari jarak yang relatif tidak jauh, tak satu peluru pun mengenai tubuhnya. Begitu pula tak sedikit rasa takut pun menghinggapi dirinya. Malah dengan berani dia menghampiri kantor itu untuk mencari oknum penembaknya.

Sampai pada peristiwa itu H Satoeri menghentikan penjelasannya.  Usia dan fisiknya tak mau lagi diajak kompromi untuk berlama-lama bercerita dan mengingat peristiwa lama. Itu sebabnya, dia menyayangkan saat memberi penjelasan peristiwa heroik perjuangannya bersama para pemimpin Islam itu, tak satupun rekannya berada di sampingnya untuk membantu melengkapi keterangannya.

Mereka semua, katanya, telah mendahului menghadap Allah SWT ke alam barzagh (meninggal). Tinggal dirinya yang semakin tua dan mulai berkurang kekuatan memorinya. Sehingga, dia merasa belum puas memberikan keterangan kepada CN, sebab ada sebagian yang sudah hilang dari ingatannya.

Karena itu, ketika memberikan keterangan kepada reporter CN dia membaca tulisan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Tulisan tentang dokumentasi perjuangannya di medan perang itu disusun dan diketik pada tanggal 5 Maret 1984. Dokumen itu dia perbanyak untuk diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan, termasuk media informasi.

“Seandainya ada satu saja teman seperjuanganku masih hidup pasti akan saya ajak membantu melengkapi cerita ini. Jadi, kamu nak bisa mengetahui peristiwa heroik itu dengan jelas. Di samping agar saya tidak dianggap cerita bohong,” pungkasnya dengan meneteskan air mata. (*)

sumber http://www.forsansalaf.com