Rabu, 10 Agustus 2011

Peran Besar Ulama Dalam Kemerdekaan RI

bendera-merah-putih 

 

Peranan tokoh-tokoh Islam mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya mampu mengamankan akidah Islamiyah penduduk negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini. Padahal, selama hampir empat abad kaum penjajah yang kafir itu memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.

Tak bisa dipungkiri, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia mengusir kaum imperialis (penjajah) dari tanah air tercintanya tidak lepas dari peranan besar tokoh-tokoh Islam negeri ini. Bahkan, tidak sedikit pemuka agama samawi itu terjun langsung berada di lini depan memimpin perang. Sehingga, tak sedikit pula yang berpulang keharibaan Ilahi Robbi sebagai pahlawan syuhada.

Tak terhitung jumlah tokoh muslim Nusantara ini gugur sebagai syuhada, diantaranya oleh Pemerintah Republik Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kita ketahui Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Bung Tomo, serta masih banyak lagi yang mengobarkan semangat jihad para pejuang untuk berperang memaksa penjajah hengkang dari bumi pertiwi, bahkan menghancurkannya.

Selama hampir empat abad masa penjajahan di Indonesia, para syuhada yang diantaranya alim ulama berada di tengah-tengah pejuang muslim. Mereka senantiasa memacu semangat hizbullah itu untuk memerangi bangsa kuffar di wilayahnya masing-masing. Yang tidak berada di medan laga biasanya dipercaya memegang kendali strategi perang, dan senantiasa menjadi rujukan para pejuang untuk menentukan arah gerakannya. Ke mana pun pejuang bergerak, para ulama itu setia mendampingi.

Tidak itu saja, dari peranannya mengawal perjuangan merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya, saat bangsa imperialis berusaha kembali bercokol di negeri berjuluk Zamrud Di Katulistiwa ini, kekokohan akidah Islam negeri ini tetap aman. Padahal, kaum penjajah yang kafir itu tidak sekedar ingin menguasai tanah air, tetapi juga memaksakan kekafirannya kepada bangsa yang mayoritas muslimin dan taat terhadap religinya itu.

Selain itu, via kawalan para tokoh-tokoh Islam penerusnya, awal terbangunnya negeri ini sarat diwarnai nuansa dan norma-norma hukum Islami, diantaranya ketika perumusan Undang-undang Dasar 1945. Demikian pula penghuni salah satu negeri di Asia Tenggara ini, hingga enam puluh tiga tahun kemerdekaannya sebagian besar masih setia dengan syariat agamanya, berkat perjuangan pemimpin Islam tersebut. Kondisi ini yang harus kita upayakan agar tetap terjaga aman ilaa yaumil qiyamah.

Nah, di sinilah perlunya memahami kiprah mereka untuk memantapkan keyakinan bahwa Islam beserta para pemimpinnya di negeri Pancasila ini memiliki dan telah menyumbangkan andil cukup signifikan di masa perjuangan kemerdekaan, pembentukan negara berdaulat, hingga  liku-liku perjalanannya saat ini.

Untuk mengetahui kiprah tokoh-tokoh Islam di masa perjuangan kemerdekaan negeri kita, pada momentum enam puluh tiga tahun kemerdekaan RI kali ini, reporter Djoko Sujanto berhasil mewawancarai salah seorang mantan pejuang kemerdekaan yang turut berjihad bersama para ulama di wilayah Pasuruan, sebuah kota kecil di Jawa Timur.

Ini salah satu upaya CN yang ingin merefresh (menyegarkan / membangkitkan kembali, red) jiwa patriotisme dan nasionalisme generasi penerus anak bangsa, terutama dari kalangan muslimin. Mereka yang sama sekali tidak mengalami masa perjuangan kemerdekaan perlu mendapatkan gambaran itu.
Pemaparan kiprah perjuangan ini juga untuk menumbuhkan kembali semangat mencintai bangsa dan tanah air pada diri pemuda, meski dalam bentuk lain. Pasalnya, hasil pengamatan beberapa pakar sosiologi, akhir-akhir ini semakin tajam dekadensi (kemerosotan) jiwa patriotisme dan nasionalisme di kalangan sebagian besar pemuda Indonesia.

Mantan pejuang yang ditemui media kita ini adalah H. Satoeri (94 tahun), seorang purnawirawan ABRI P (Kepolisian) tahun 1975. Dari aktifitasnya malang melintang di medan perjuangan kemerdekaan, dia mendapatkan penghargaan dari Presiden RI berupa Bintang Gerilya Tahun 1963, Satya Lentjana PK Perang Kemerdekaan) I & II Tahun 1965, dan Satya Lentjana Jana Utama Tahun 1967. Meski sebenarnya dia tidak mengharapkannya.

Menurutnya, dirinya berjuang bukan mengharapkan penghargaan, namun semata ingin membebaskan bangsanya dari cengkeraman dan penindasan kejam tak berperikemanusiaan kaum kolonialis yang atheis (tak bertuhan). Dia amat merasakan pahit getirnya masa penjajahan.
“Dijajah itu sengsara nak, kita saat itu seakan mati dalam hidup. Bagaimana tidak, kita tidak bisa bergerak bebas, terkungkung dalam  suatu tempat yang amat terbatas, karena keserakahan penjajah. Serba kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup. Pokoknya susah sekali. Alhamdulillah, melihat keadaan itu tumbuh semangat dalam jiwa ini untuk berjihad,” paparnya dengan suara agak tersendat, karena napasnya acap kali tersengal mengiringi usianya yang semakin udzur.

Pria yang kini masih semangat hadir di majalisul khoir (majelis-majelis kebaikan) itu kemudian menceritakan secara kronologis kiprahnya menentang penjajahan bersama ulama dan rekan-rekan seperjuangannya. Beragam peristiwa dipaparkan secara detail dengan semangat yang menggebu.
Pada clash II tahun 1947, Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia berhasil memasuki negeri ini membonceng pasukan NICA. Pasukan penjajah dari negeri kincir angin itu memasuki kota Pasuruan pada bulan Juli, melalui arah selatan yakni dari Malang menerobos daerah Weringin Contang Pacarkeling (wilayah kabupaten Pasuruan).

Pasukan pejuang H. Satoeri pimpinan Imam Jembrak (julukan laki-laki yang berambut panjang) dan Faqih mulai mengadakan aksi sejak hari ketiga kedatangan pasukan Belanda di kota Pasuruan. Itu dilakukan setelah melakukan pengamatan cermat terhadap gerakan mereka. Diawali dengan membuat kekacauan di kota, memutusi kawat-kawat listrik dan kabel-kabel telepon jaringan fital yang menghubungkan instansi-instansi penting yang dikuasai Belanda.

Tidak itu saja, untuk mendapatkan persenjataan perang pasukan Imam mengadakan penyerbuan ke tempat-tempat konsentrasi pasukan musuh yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan senjata. Juga, dengan melakukan penyergapan dan penghadangan pasukan musuh yang tengah berpatroli, untuk merampas senjatanya.

Sejumlah markas musuh diserbu, diantaranya di pabrik Boma Stork, Rumah Sakit Purut, pabrik Pleret (TTI sekarang, red), Poncol, markas Gadingrejo, dan di Proof Stasiun (P3GI). Sementara penyergapan dilakukan terhadap patroli polisi Belanda di Karangketug, Sutojayan Pohjentrek, Kejayan, Tamba’an, Sangar, Bugul, Gembyang Kraton, Alun-alun, di Jl. Diponegoro, dan Jl. Nusantara.
Aksi itu membuahkan hasil, enam puluh satu pucuk senjata, baik pistol maupun senjata laras panjang berhasil dirampas dari pasukan Belanda. Juga, dua buah mesin tulis, dan sembilan belas sepeda pancal. Tak hanya itu, dua belas Polisi Belanda pun terbunuh. Namun, di sisi lain tujuh orang pasukan pejuang gugur tertembak.

Setelah berhasil memiliki senjata, pejuang kita melakukan penyerangan pada malam hari secara gerilya (serang dan lari, red) terhadap pasukan Belanda di berbagai tempat, termasuk penyerbuan pos-pos polisi Belanda di Sangar dan Kebonagung. Biasanya saat melakukan penyerangan malam hari para pejuang menggunakan pakaian serba hitam, untuk mengelabui musuh.

Aksi itu menyebabkan pasukan musuh kacau yang kemudian melakukan serangan balasan secara membabibuta dengan tembakan mortir. “Alhamdulillah, tak satu pun tembakan mereka mengenai sasaran. Peluru mortir itu semuanya nyasar ke sawah-sawah,” cerita purnawirawan Polisi dengan pangkat terakhir Peltu, di Komres 1025 (sekarang Polres, red) Lumajang ini.

Kegagalan serangan balik pasukan musuh itu menyelamatkan wilayah pertahanan pasukan Imam beserta rakyat penghuninya. Saat itu pos-pos pertahanan hizbullah tersebut berada di desa Gentong, Bukir dan Sangar. Itu sebabnya, Imam Cs makin memiliki kesempatan mengintensifkan serangan terhadap musuh di pusat kota. Mereka melakukan penyerangan secara gerilya, terutama pada malam hari hingga akhir tahun 1948,” papar H. Satoeri.

Untuk mendekatkan posisi pejuang dengan sentra-sentra keberadaan pasukan musuh, pasukan Imam membentuk pos-pos komando (posko) di wilayah kota. Itu dilakukan setelah Imam Cs. bergabung dengan kawan-kawan perjuangan TRI Hizbullah yang menyatakan diri hijrah ke pasukan republik.
Ada empat belas posko didirikan di sebelas desa wilayah kota Pasuruan, yakni sebuah posko masing-masing dibangun di Sangar, Bangilan, Mayangan, Tamba’an, Gentong, Sebani, Wirogunan, Purutrejo, Kepel/Tapa’an, dan Petung/Bakalan. Sementara di Kebonsari didirikan empat posko.
Empat posko di Kebonsari dan sebuah di Bangilan merupakan posko terdekat dengan lokasi pasukan musuh yang bermarkas di pusat kota. Posko-posko tersebut digunakan selama tahun 1948. Sebuah bekas posko yang tersisa dan belum berubah sampai sekarang (sengaja tidak diubah bangunannya, dindingnya tetap dari papan-papan kayu) adalah yang berada di Jalan Diponegoro, Kebonsari, yakni sebuah musholla. Masyarakat Pasuruan menyebutnya Langgar.

Karenanya, kata H. Satoeri, hingga kini musholla itu disebut “Langgar Perjuangan”. Setiap bulan Ramadhan musholla tersebut menjadi salah satu tempat kegiatan Khotmul Qur’an Keliling asuhan Ustadz Habib Taufiq Assegaf, yang dihadiri ratusan jamaah. “Barangkali itu sebagai salah satu bentuk penghargaan generasi sekarang terhadap perjuangan pahlawannya. Dengan begitu kita dapat mengenang terus perjuangan beliau-beliau itu,” tutur Bapak berputra enam belas orang itu.

Awal tahun 1949 Batalyon Syamsul Islam masuk Pasuruan, mengajak pasukan Imam bergabung dalam formasi Batalyonnya. Kedua pasukan itu disatukan dalam Kompi Ngadipurnomo. Penggabungan kedua pasukan itu semakin memperkuat semangat perjuangan mereka. Itu sebabnya, pejuang-pejuang muslim itu kemudian memperluas wilayah perjuangannya hingga daerah kabupaten Pasuruan, bahkan menerobos kota Malang dengan membangun sejumlah pos komando baru.

Suatu ketika pasukan pejuang itu diperintahkan menjemput Akub Djaenal di Malang untuk diajak menuju salah satu markas pejuang di kota Pasuruan, yakni di rumah KH. Abdul Rochim, Jalan Nusantara Gang V (sekarang Jl. KH Wachid Hasyim). Di tempat itu mereka melakukan rapat mengatur strategi penyerangan beberapa sasaran musuh.

Namun, pada saat bersamaan pejuang kita mendengar pernyataan gencatan senjata sepihak dari pihak pasukan Belanda. Tanpa prasangka buruk atau khawatir jangan-jangan pernyataan itu merupakan siasat licik pasukan musuh untuk memancing tentara Allah itu keluar sarangnya, maka Imam Cs segera menuju pusat kota untuk memantau kondisi keamanan di sana.

Ternyata benar, perkiraan pasukan Imam meleset, dan tanpa diduga pasukan Belanda menangkap seluruh kawanan pejuang H. Satoeri. Selanjutnya, Imam Cs ditahan sementara di Gedung Trikora/Harmoni (sekarang digunakan STM Untung Suropati), lalu dibawa ke penjara Lowokwaru Malang.

Di penjara itu pejuang-pejuang muslim tersebut melakukan puasa bersama selama empat puluh hari. Ketika masa tirakatnya memasuki separuh perjalanan (hari ke dua puluh), pasukan Imam mengadakan gerakan mengumpulkan batu bata dan lombok/cabe yang akan dijadikan senjata untuk melumpuhkan penjaga penjara.
Batu bata itu ditumbuk halus kemudian dicampur cabe yang telah dihaluskan. Menurut H Satoeri campuran serbuk batu bata dengan cabe itu amat ampuh sebagai senjata. Benar, ketika memasuki hari ke empat puluh puasa, pasukan Imam menggerakkan seluruh penghuni penjara dan berhasil melumpuhkan penjaga-penjaga penjara itu. Campuran serbuk batu bata cabe itu ditebarkan ke mata pengaman penjara.
“Akhirnya, penghuni penjara Lowokwaru keluar semua, bebaslah kami. Malah kami dapat merampas senjata para penjaga penjara itu. Namun kami juga kehilangan dua rekan pejuang yang mati tertembak,” kisahnya bersedih.
Kiai Bangkitkan Semangat Pejuang
Keberhasilan H Satoeri melawan musuh bersama-sama rekan seperjuangannya yang dipimpim Imam Jembrak diakuinya berkat pertolongan Allah, Robbul Izzati, melalui wasila para kiai. Menurutnya, para kiai Pasuruan selalu meluangkan waktu untuk pejuang. Salah satunya, beliau-beliau senantiasa menerima kedatangan pejuang yang memohon doa restu sebelum berangkat perang. Ulama-ulama itu juga menentukan kapan pejuang harus menyerang atau tidak, dan menghindari serangan.

H Satoeri menyebut sejumlah kiai yang berjasa membangun semangat pasukan pimpinan Imam setiap kali melakukan penyerangan. Pemimpin-pemimpin Islam itu diantaranya KH. Abdullah bin Yasin, KH Abdul Chamid, Kiai Achmad Sahal, Kiai Mas Imam, KH Abdul Rochim dan KH Achmad Rifa’i, semuanya dari Kebonsari. Kemudian KH Achmad Dahlan (pernah menjadi Menteri Agama RI) dari Gentong, KH Achmad Djufri dari Besuk, dan KH Nur ayah KH Djasim Podokaton, keduanya dari wilayah Kabupaten Pasuruan.
“Semua gerakan kami itu tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk para kiai itu. Bahkan, beliau-beliau itu memberi bekal kami berupa kekebalan fisik, dengan memberikan gemblengan dan bacaan doa-doa. Untuk gemblengan kekebalan fisik biasanya diberikan oleh KH Achmad Rifa’i. Kiai satu ini yang setia mengikuti kemana kami beroperasi, meski harus berjalan kaki puluhan kilometer,” ungkap kakek ini.

Suatu waktu, saat menjelang penyerangan Kantor Pos yang dikuasai Belanda pasukan Imam tidak bergairah sama sekali. Sekujur tubuh terasa loyo. Akhirnya semua pejuang memohon kekuatan kepada Allah SWT dengan bertawassul di turbah Surga-surgi dan turbah habaib disampingnya. Masyaallah, tambah H Satoeri, kekuatan dan semangat itu tumbuh lagi. Bahkan, meski ditembaki musuh tidak terasa sama sekali, luka tembak pun tidak ada.
Penyerangan terhadap Kantor Pos itu dilakukan karena beberapa polisi Belanda yang mangkal di kantor itu telah menembaki H Satoeri saat menurunkan bendera Belanda dari tugu Alun-alun yang saat itu masih berupa bambu, kemudian menggantinya dengan bendera Merah Putih. Anehnya, meski ditembaki dari jarak yang relatif tidak jauh, tak satu peluru pun mengenai tubuhnya. Begitu pula tak sedikit rasa takut pun menghinggapi dirinya. Malah dengan berani dia menghampiri kantor itu untuk mencari oknum penembaknya.

Sampai pada peristiwa itu H Satoeri menghentikan penjelasannya.  Usia dan fisiknya tak mau lagi diajak kompromi untuk berlama-lama bercerita dan mengingat peristiwa lama. Itu sebabnya, dia menyayangkan saat memberi penjelasan peristiwa heroik perjuangannya bersama para pemimpin Islam itu, tak satupun rekannya berada di sampingnya untuk membantu melengkapi keterangannya.

Mereka semua, katanya, telah mendahului menghadap Allah SWT ke alam barzagh (meninggal). Tinggal dirinya yang semakin tua dan mulai berkurang kekuatan memorinya. Sehingga, dia merasa belum puas memberikan keterangan kepada CN, sebab ada sebagian yang sudah hilang dari ingatannya.

Karena itu, ketika memberikan keterangan kepada reporter CN dia membaca tulisan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Tulisan tentang dokumentasi perjuangannya di medan perang itu disusun dan diketik pada tanggal 5 Maret 1984. Dokumen itu dia perbanyak untuk diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan, termasuk media informasi.

“Seandainya ada satu saja teman seperjuanganku masih hidup pasti akan saya ajak membantu melengkapi cerita ini. Jadi, kamu nak bisa mengetahui peristiwa heroik itu dengan jelas. Di samping agar saya tidak dianggap cerita bohong,” pungkasnya dengan meneteskan air mata. (*)

sumber http://www.forsansalaf.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar